MENGENAL
SASTRAWAN KALIMANTAN SELATAN
FAHRURAJI
ASMUNI LEWAT PUISI 'BULAN JATUH'
FAHRURAJI
ASMUNI
Fahruraji Asmuni lahir pada tanggal 13 Agustus 1960 di Alabio Kabupaten Hulu
Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan. Setelah lulus SMA Amuntai, ia
melanjutkan ke DII Bahasa Indonesia FKIP Unlam (1986), DIII Bahasa Indonesia-UT
(1999). Selanjutnya menyelesaikan S.1 pada Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia-Daerah (PBSID) FKIP Unlam (2003) dan S-2 Manajemen Pendidikan, STIE
Pancasetia (2011)
Sastrawan Kalsel yang satu ini termasuk sosok yang super sibuk. Di samping
sebagai guru di SMAN 1 Amuntai itu ia juga Juga menjadi tutor UPBJJ-
Banjarmasin-UT-Pokjar Danau Panggang, Disdikbud HSU, dan sebelumnya ia juga
menjadi tutor pada penyataraan S-1 Guru SD UT-Pokjar Lampihong, Kabupaten
Balangan.
Di dunia seni ia juga sibuk sebsgai pegiat dan aktivis seni dan sastra melalui
Dewan Kesenian HSU dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Hulu Sungai Utara. Hal
ini ditandai dengan berbagai kegiatan seni dan sastra yang dilakukannya baik
tingkat lokal maupun tingkat nasional.
Di sela-sela kesibukannya itu ia juga rajin menulis puisi, cerpen dan esai dll.
dalam dunia tulis-menulis ia sering menggunakan nama pena Raji Abkar,
Fahrurraji As al-Al Alaby, Frasnaya,dan Fitra Karunia
Fahruraji Asmuni mulai terjun di dunia tulis-menulis sejak tahun 1982.
Karya-karyanya berupa esai, puisi, dan cerpen pernah dimuat di berbagai media
seperti Banjarmasin Post, Serambi Ummah, Majalah Kiblat-Jakarta,
Sahabat Pena, Suara Aisyiyah-Yogyakarta, Radar Banjar, danBuletin
Cangkal.
Puisi-puisinya terhimpun dalam antologi Darah Impian (1982); Elite
Penyair Kalsel 1979-1985(1988), Bintang-Bintang Kasuma I Antologi
11 penyair Hulu Sungai Utara, (1984); Seribu Sungai Paris Berantai Antologi
penyair Kalsel (2006), Ronce Bunga Mekar Antologi penyair
Banua Enam (2007); Mahligai Junjung Buih Antologi puisi dan
cerpen Sastrawan Hulu Sungai Utara, 2007);Tarian Cahaya di Bumi Sanggam Antologi
puisi Penyair Kalsel (2008); Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi
puisi ASKS VI Marabahan (2009); Menyampir Benua, Antologi puisi
ASKS VII Tabalong,2010); Seloka Bisu Batu Benawa, Antologi puisi
ASKS VIII Barabai (2011); Gagasan Besar Aruh Sastra Kalimantan Selatan,
Himpunan tulisan, ed. ASA, (2011)
Kumpulan cerpen dan cerita yang telah dirilisnya adalah Kuning Padiku,
Hijau Hidupku (1984),Sang Guru (1990), Pengabdian (1995), Dialog
Iblis dengan Para Shalihin (2000), Datu-Datu Terkenal Kalsel (2001), Kena
Tipu (2005); Mengenal Sastra Lisan Banjar Hulu (untuk
Muatan Lokal tingkat SLTP) terbit 2001, Sastra Lisan Banjar Hulu (yang
sudah punah dan masih hidup) terbit 2009, Antologi cerpen siswa SMA ” Diteror
100 Jam” , editor (Juni,2010), Tutur Candi (September,
2010) dan Kumpulan Kisah Bahasa Banjar (Desember, 2010), Ketika
Api Bicara,kumpulan cerpen bersama guru dan alumni SMAN 1 Amuntai
(2011), Putri Junjung Buih, cerita daerah Banjar,antologi bersama
penulis Amuntai (2012).
Kini ia tinggal dan berdomisili di Alamat : Jalan Negara Dipa, Komplek 10 RT.8
No. 066 Kelurahan Sungai Malang, Amuntai.
Selain itu ia juga aktif menulis di http: /wwwkaryaraji.
Blogspot.http://wwwkaryaraji.blogspot.com/, dan di http // www. fahrurraji.
wordpress. com. Juga di jejaring sosial facebook: faraji413@gmail.com. Juga
aktif di twitter dengan identitas twitter: @ rajileonada.
***
Bulan
Jatuh
Aku
melihat bulan seiris jatuh
Tersangkut
di ranting cemara
Pucat,
malam tambah pekat
Siapa
lagi yang berbuat ulah tanpa tenggang rasa
Sementara
langit tak mencegah kepergiannya
Lebih
baik kuambil saja penerang hidupku
Pengusir
sepiku
Tapi
si bulan enggan dibawa
Lebih
senang bergelantungan
Menikmati
lembutnya belaian angin dan cumbuan malam
5
Juli 2011
Puisi yang berjudul Bulan Jatuh karya Fahruraji Asmuni ini
tampil dengan tipografi bait tunggal yang terdiri dari 10 larik.
Setelah kita baca hayati dan kita cermati, ternyata puisi ini begitu renyah
untuk dinikmati, menarik untuk dianalisis dan dibicarakan. Karena puisi ini di
samping dibangun dengan untaian kata-kata puitis juga dibangun dengan diksi,
ritme, imaji dan majas yang juga tidak kalah menariknya. Termasuk juga tema,
amanat dan pesan moral yang terkandung di dalamnya. Untuk ini marilah
kita telisik dan kita cermati dengan saksama.
Puisi ini dibangun dengan diksi yang begitu puitis. Hal ini ditandai dengan
ungkapan bulan jatuhyang dijadikan judul puisi ini. Di larik 1 ada
ungkapan bulan seiris jatuh. Di larik 12 ada tersangkut di
ranting cemara. Berikutnya ada pucat, malam tambah
pekat di larik 3. Di larik 5 ada langit
tak
mencegah kepergiannya .
Di larik 8 dan 9 ada si bulan enggan di bawa, lebih senang
bergelantungan. Dan terakhir di larik 10 ada lembutnya belayan
angin dan cumbuan malam. Semua untaian kata tsb. terasa begitu
puitis.
Puisi ini juga dibangun dengan imaji visual. Di larik 1 dan 2 kita
seakan melihat bulan seiris atau yang biasa kita sebut bulan sabit itu
seakan-akan tersangkut di ranting cemara. Selanjutnya di larik 3 kita seakan
melihat bulan itu nampak pucat, sementara malam semakin pekat. Maksudnya malam
semakin gelap. Di larik 5 kita seakan melihat bulan sabit yang mulai menghilang
dari pandangan mata.
Di sini juga ada imaji auditif, kita seakan mendengar ucapan
seseorang yang ditandai dengan ungkapan di larik 1 aku melihat bulan
seiris jatuh. Di larik 6 kita seakan mendengar seseorang mengucapkan Lebih
baik kuambil saja penerang hiduku. Berikutnya di larik 10 ada imaji
taktil kita seakan merasakan lembutnya belaian angin malam.
Puisi ini juga dibangun dengan beberapa majas. Yaitu majas retoris,
majas hiperboola, litotes, antropomorfisme, personifikasi dan majas
paralellisme.
Di larik 1 ada majas litotes menggunakan ungkapn yang
mengecilkan arti. Hal ini ditandai dengan frasa bulan seiris. Di
larik 2 ada majas hiperbola ungkapan yang melebih-lebihkan.
Hal ini ditandai dengan ungkapan [bulan] jatuh, tersangkut di nnranting
cemara. Di larik 4 ada majas retoris yang menggunakan
perrtanyaan. Hal ini ditandai dengan ungkapan Siapa lagi yang berbuat
ulah tanpa tenggang rasa. Di larik 5 ada majas personifikasi yang
ditandai dengan ungkapan langit tak mencegah kepergiannya. Di larik
8, 9 dan larik 10 juga ada majas personifikasi ini pada
untaianTapi si bulan enggan dibawa, [tetapi] lebih senang
bergelantungan, menikmati lembutnya belaian angin dan cumbuan malam.
Di larik 10 ada majas atropomorfisme yang ditandai dengan
ungkapan belaian angin dancumbuan malam Di larik
4 dan 6 ada majas paralellisme yaitu majas yang mengunakan dua
ungkapan atau kalimat yang yang sejajar. Hal ini ditandai dengan Siapa
lagi yang berbuat ulah tanpa tenggang rasa, Sementara langit tak [mau] mencegah
kepergiannya. Demikian pula di larik 8 dan 9 yang ditandai
dengan Tapi si bulan enggan dibawa dan Lebih senang
bergelantungan.
Puisi ini juga dibangun dan diperindah dengan rima asonansi yang terbentuk dari
pengulangan bunyi vokal dalam baris larik yang sama. Dan rima aliterasi yang
terbentuk dari pengulangan bunyi konsonan pada baris larik yang sama. Di larik
1 ada pengulagan bunyi vokal [u] pada kataaku, bulan dan kata jatuh.
Di larik 2 ada pengulangan bunyi konsonan [r] pada kata tersangkut,
ranting dan kata cemara. Di larik 3 ada pengulangan bunyi
[am] pada kata malam dan katatambah. Selain itu dilarik
3 ini juga ada pengulangan bunyi konsonan [t] pada kata pucat, tambahdan
kata pekat. Di larik 4 juga ada pengulangan bunyi konsonan
[t] pada kata berbuat, tanpa dan kata tenggang.
Dan di larik 5 ada pengulangan bunyi konsonan [e] pada kata sementara,
menmcegah dan kata kepergiannya. Di larik 6 ada
penghhuolangan bunyi konsonan [b] pada katalebih,baik dan pada
kata kuambil. Di larik 9 ada pengulangan bunyi vokal [e] pada
kata lebih, senang dan juga pada kata bergelantungaan.
Di larik 10 juga ada pengulangan bunyi vokal [e] pada kata menikmati,
lembutnya dan kata belaian.
***
Puisi Fahruraji Asmuni ini berjudul Bulan Jatuh. Secara denotatif
frasa bulan jatuh maknanya adalah memang benar-benar bulan
yang jatuh. Tetapi itu tidak mungkin. Berarti ini bukan arti yang sebenarnya.
Barangkali maksudnya jatuh di sini adalah nampak pada pandangan mata bulan itu
seperti jatuh. Puisi ini memang membicarakan keindahan bulan seiris yang nampak
tersangkut di ranting cemara. Fenomena alam ini ternyata sangat menarik
perhatian penyair. Dan langsung menginspirasi dan terciptalah puisi ini.
Karena bulan nampak seperti tersangkut di ranting cemara. Padahal sebenarnya
tidak, tetapi bulan tetap berada di garis edarnya jauh di langit sana.
Bulan jatuh di sini maksudnya hanyalah sebuah kiasan. Dan secara
konotatif bulan jatuh bisa bermakna lain. Kata bulan sendiri
mengingatkan kita pada ungkapan Bagaikan bulan purnama yang menyinari
bumi; Bagaikan pungguk yang merindukan bulan; Bagaikan bulan berpagar bintang;
Bagaikan bulan sembunyi di balik awan. Semua ungkapan itu mengarah pada
satu arti yang sama, yaitu seseorang yang sangat diinginkan, didambakan dan
sangat diidamkan. Yaitu gadis manis pujaan hati yang selalu dicinta dan
dirindu.
Selain itu kata bulan juga mengingatkan kita pada hal-hal yang
lain. Yaitu tanggung bulan, bulan-bulanan, bulan sial, bulan madu,
datang bulan, awal bulan, akhir bulan, bulan baru, bulan berjalan, bulan puasa dll.
Pertanyaannya adalah bulan yang manakah sebenarnya yang
dimaksud dengan frasa bulan jatuh dalam puisi ini? Yang
jelas bulan yang ada di dalam puisi ini harus dimaknai secara
konotatif. Makna konotatifnya adalah sesuatu yang diimpikan, sesuatu yang
diidamnkan, bahkan sesuatu yang didambaklan. Dengan demikian bulan di sini bisa
berarti seorang gadis impian yang cantik rupawan lagi memukau
dan mempesona. Aku melihat bulan seiris jatuh [dan] tersangkut
di ranting cemara. Secara denotatif frasa bulan seiris itu
maknanya memang benar-benar jatuh dan tersangkut di ranting cenara. Tetapi ini
tidak mungkin. Mana ada bulan jatuh? Lebih-lebih lagi tersangkut di ranting
cemara? Itu lebih tidak mungkin lagi. Mustahil! Tentu maksudnya adalah bulan
seiris itu nampak seperti jatuh, dan bulan seiris itu terlindung oleh
ranting-ranting cemara. Jadi kelihatannya nampak seperti tersangkut di ranting
cemara.
Secara konotatif frasa bulan seiris ini adalah ungkapan dari
alis mata yang kecil berbentuk bulan seiris. Seperti dalam lirik lagu yang
berjudul Ading Bastari karya Anang Ardiansyah yang berbunyi
Ading
sayang manang dialis
Aduhai
bulan sahiris.
Putih
kuning ma-ambun pupur
kada
tatinggal gawi di dapur
Tentu yang dimaksud bukan alis matanya tetapi adalah si gadis pemilik alis mata
itu. Yang tersangkut di ranting cemara. Bisa jadi alis mata itu bagaikan bulan
seiris yang tersangkut di ranting cemara. Frasa ranting cemara di sini maknanya
barangkali helaian-helaian rambut yang terjuntai menutupi alis mata dan
sebagian wajah sang gadis itu. Atau rambut-rambut itu sengaja dibuat terjuntai
untuk menutupi wajah yang pucat bagaikan malam semakin gelap semakin pekat.
Siapa lagi yang berbuat ulah ini tanpa tenggang rasa sehingga bulan ini jatuh.
Kata jatuh di sini maksudnya adalah bulan itu terpaksa jatuh dan harus pergi
dari tempatnya di langit malam itu. Sementara langit pun tak mencegah
kepergiannya. Maka tinggalah si aku yang merasa sepi sendiri.
Di dalam puisi ini ungkapan bulan jatuh sifatnya adalah ambiguitas ganda yang
memiliki banyak makna. Maknanya pun bisa melebar ke mana-mana. Tergantung dari
arah mana pembaca memaknainya. Frasa bulan di sini bisa
bermakna seorang gadis cantik jelita, atau bisa sesuatu apa
saja.
Jika kata bulan di sini maknanya adalah seorang dara berparas
cantik jelita, maka di sini adabeberapa sosok yang harus kita
cermati. Pertama adalah bulan itu sendiri, yang ke dua adalahlangit,
dan yang ke tiga adalah aku lirik yaitu sosok aku yang
dibicarakan dalam puisi ini, dan yang terakhir adalah belaian angin dan cumbuan
malam. Ibarat sebah drama, maka beberapa sosokitulah yang jadi
pelaku atau pemeran dalam puisi ini. Layaknya sebuah sandiwara maka di sini pun
tentu ada peran protogonis dan peran antagonis, peran pembantu dan peran
pelengkap plus peran piguran-piguran lainnya..
Jika yang dimaksud bulan di sini Sosok bulan di
sini mungkin saja seorang teman yang diam-diam dicintai, atau mungkin seorang
kekasih, bahkan mungkin juga seorang istri. Yang jelas ia adalah seorang wanita
berparas cantik jelita yang sangat disayang, diidamkan dan didambakan.
Sedangkan yang dimaksud dengan langit di sini adalah sesuatu
yang ada di atas. Kata langit menunjukkan posisi dan kedudukan yang lebih
tinggi. Boleh jadi ia adalah seseorang yang punya wewenang dan otoritas
terhadap dara itu sendiri. Mungkin orang tuanya, mungkin atasannya, atau
mungkin juga seseorang yang punya kemampuan memaksa dengan ancaman
atau dengan harta. Dan yang dimaksud
dengan aku lirik yaitu sosok aku yang dibicarakan dalam puisi
ini, Sedangkan yang dimaksud dengan belaian angin dan cumbuan
malam di sini adalah sesuatu atau seseorang yang mempengaruhi, membujuk,
menggoda bahkan merayu sehingga sang idaman yang sangat di sayang itu pun
tergoda terpikat, akibatnya ia pergi meninggalkan si aku dalam
puisi ini. Dengan demikian maka pertanyaan retoris Siapa lagi yang
berbuat ulah tanpa tenggang rasaitu kini sudah terjawab. Dalam keadaan sepi
sendiri itu terpaksa si aku mengambil penerang hidup untuk mengusir
sepi.Adapun yang dimaksud dengan penerang hidup di sini
maksudnya adalah sesuatu yang bisa menenangkan kegalauan. Boleh jadi itu adalah
buku-buku pencerah atau bisa juga kitab Surah Yaa Sin bahkan
mungkin juga Kitab Alqur’anul Karim.
Ternyata puisi ini bisa juga dimaknai dengan hal yang lain. Bukankah sebuah
puisi itu adalah ungkapan perasaan, pikiran, bahkan gagasan dari penulisnya?
Yang di dalamnya terkandung amanat dan pesan moral yang ingin disampaikan
kepada khalayak lewat pembaca. Amanat dan pesan moral itu ada kalanya
jelas tersurat dan terbaca, terang benderang bagaikan kaca
bening tembus sinar. Sehingga langsung bisa diterima pembaca. Tetapi ada
kalanya juga pesan moral itu tak bisa langsung terbaca, karena pesan moral
hanya tersirat bahkan terselubung. Bagaikan gunung es yang tanpak hanyasebagian kecil saja. Sebagian terbesarnya justru tak
terlihat karena berada di bawah permukaan. Padahal amanat dan pesan moral itu
harus diungkap dan dikuak dengan sejelas-jelasnya. Dalam hal ini diperlukan
penjelasan, pencerahan, bahkan pembedahan melalui pisau bedah analisis yang
biasa disebut esai. Tidak menutup kemungkinan bahwa sebuah puisi itu memiliki
makna ganda dan multitafsir melebihi dari apa yang ingin diungkapkan
penulisnya. Misalnya seperti dalam puisi yang berjudul Bulan Jatuh karya
Fahruraji Asmuni ini. Kata kuncinya adalah bulan.
Bulan adalah
benda langit yang memberikan sinarnya di malam hari. Bulan dianggap
sebagaipenerang saat malam hari. Sedangkan malam melambangkan
kegelapan. Dengan demikian bulan itu adalah penerang jalan di malam hari. Jadi
frasa Bulan Jatuh di sini maknanya bisa berarti bahwa penerang
atau pemberi cahaya atau bisa disebut Pencerah itu sudah jatuh. Sudah jatuh
berarti sudah tak punya wewenang.
Lebih
sedih lagi Sang Pencerah itu sudah tak punya kharisma lagi. Dengan demikian
puisi ini tentu bisa juga dimaknai dari makna yang lain dari apa yang
diungkapkan penyairnya.
Hal ini bisa kita samakan dengan puisinya Chairil Anwar yang berjudul Aku.
Pada awalnya puisi ini lahir karena ungkapan sikap Chiril Anwar terhadap sikap
Ayahnya yang kawin lagi dan meninggalkan ibunya. Sosok Kau dalam
puisi ini adalah ayahnya sendiri. Ternyata tiba-tiba saja puisi ini juga mampu
menginspirasi perjuangan bangsa Indonesia mempertahan kemerdekaan yang
diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945.
Demikian juga dengan puisi ini. Walaupun pada awalnya hanya mengungkapkan
keindahan fenomena alam. Dalam hal ini keindahan bulan seiris yang begitu
memukau dan mempesona penulisnya. Sehingga mampu menginspirasinja untuk
menulis sebuah puisi.
Berikutnya puisi ini bisa dinikmati dan dimaknai ke arah yang lebih
luas lagi. Yaitu mengungkapkan kerinduan dan kegalauan seseorang yang ditinggal
pergi kekasih hatinya, karena tergoda oleh belaian angin dan cumbuan malam. Dan
berikutnya puisi ini juga bisa dimaknai dari sudut pandang yang lain. Misalnya,
sebuah komunitas, sebuah organisasi, LSM, Ormas, Partai, sebuah perusahaan,
atau bisa juga sebuah keluarga, sebuah lingkungan RT, RW, Kelurahan bahkan
kabupaten/kota, yang ditinggal pergi seseorang yang sangat berarti.
Adapun amanat dan
pesan moral yang terdapat dalam puisi ini adalah, hendaknaya kita jangan putus
asa. Lihat dan cermati ungkapan dalam larik 6 dan 7 di atas. Lebih baik
kuambil saja penerang hidupku - Pengusir sepiku. Makna dari larik ini
adalah, sebaiknya kita menenangkan hati, intropeksi dan menjernihkan pikiran
melalui pemikirann keilahian, membaca kita-kitab religie, plus menpelajari dan
mencari kemmungkinan-kemungkinan hal-hal yang bisa membangkitkan spirit baru.
Barangkali inilah yang dapat kita petik dari puisi ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar