Fahrurraji Asmuni, Sastrawan Kalsel,Tinggal di Amuntai

Sabtu, 22 Desember 2012


MENGENAL SASTRAWAN KALIMANTAN SELATAN
FAHRURAJI ASMUNI LEWAT PUISI 'BULAN JATUH'
oleh Hamberan Syahbana pada 28 Juli 2012 pukul 9:50 ·

FAHRURAJI ASMUNI

     Fahruraji Asmuni lahir pada tanggal 13 Agustus 1960 di Alabio Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan. Setelah lulus SMA Amuntai, ia melanjutkan ke DII Bahasa Indonesia FKIP Unlam (1986), DIII Bahasa Indonesia-UT (1999). Selanjutnya menyelesaikan S.1 pada Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia-Daerah (PBSID) FKIP Unlam (2003) dan S-2 Manajemen Pendidikan, STIE Pancasetia (2011)
     Sastrawan Kalsel yang satu ini termasuk sosok yang super sibuk. Di samping sebagai guru di SMAN 1 Amuntai itu ia juga Juga menjadi tutor UPBJJ- Banjarmasin-UT-Pokjar Danau Panggang, Disdikbud HSU, dan sebelumnya ia juga menjadi tutor pada penyataraan S-1 Guru SD UT-Pokjar Lampihong, Kabupaten Balangan.
     Di dunia seni ia juga sibuk sebsgai pegiat dan aktivis seni dan sastra melalui Dewan Kesenian HSU dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Hulu Sungai Utara. Hal ini ditandai dengan berbagai kegiatan seni dan sastra yang dilakukannya baik tingkat lokal maupun tingkat nasional.
      Di sela-sela kesibukannya itu ia juga rajin menulis puisi, cerpen dan esai dll. dalam dunia tulis-menulis ia sering menggunakan nama pena Raji Abkar, Fahrurraji As al-Al Alaby, Frasnaya,dan Fitra Karunia
     Fahruraji Asmuni mulai terjun di dunia tulis-menulis sejak tahun 1982. Karya-karyanya berupa esai, puisi, dan cerpen pernah dimuat di berbagai media seperti Banjarmasin Post, Serambi Ummah, Majalah Kiblat-Jakarta, Sahabat Pena, Suara Aisyiyah-Yogyakarta, Radar Banjar, danBuletin Cangkal.

     Puisi-puisinya terhimpun dalam antologi Darah Impian (1982); Elite Penyair Kalsel 1979-1985(1988), Bintang-Bintang Kasuma I Antologi 11 penyair Hulu Sungai Utara, (1984); Seribu Sungai Paris Berantai Antologi penyair Kalsel (2006), Ronce Bunga Mekar Antologi penyair Banua Enam (2007); Mahligai Junjung Buih Antologi puisi dan cerpen Sastrawan Hulu Sungai Utara, 2007);Tarian Cahaya di Bumi Sanggam Antologi puisi Penyair Kalsel (2008); Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi puisi ASKS VI Marabahan (2009); Menyampir Benua, Antologi puisi ASKS VII Tabalong,2010); Seloka Bisu Batu Benawa, Antologi puisi ASKS VIII Barabai (2011); Gagasan Besar Aruh Sastra Kalimantan Selatan, Himpunan tulisan, ed. ASA, (2011)
      Kumpulan cerpen dan cerita yang telah dirilisnya adalah Kuning Padiku, Hijau Hidupku (1984),Sang Guru (1990), Pengabdian (1995), Dialog Iblis dengan Para Shalihin (2000), Datu-Datu Terkenal Kalsel (2001), Kena Tipu (2005); Mengenal Sastra Lisan Banjar Hulu (untuk Muatan Lokal tingkat SLTP) terbit 2001, Sastra Lisan Banjar Hulu (yang sudah punah dan masih hidup) terbit 2009, Antologi cerpen siswa SMA ” Diteror 100 Jam” , editor (Juni,2010), Tutur Candi (September, 2010) dan Kumpulan Kisah Bahasa Banjar (Desember, 2010), Ketika Api Bicara,kumpulan cerpen bersama guru dan alumni SMAN 1 Amuntai (2011), Putri Junjung Buih, cerita daerah Banjar,antologi bersama penulis Amuntai (2012).
      Kini ia tinggal dan berdomisili di Alamat : Jalan Negara Dipa, Komplek 10 RT.8 No. 066 Kelurahan Sungai Malang, Amuntai.
       Selain itu ia juga aktif  menulis di http: /wwwkaryaraji. Blogspot.http://wwwkaryaraji.blogspot.com/, dan di http // www. fahrurraji. wordpress. com. Juga di jejaring sosial facebook: faraji413@gmail.com. Juga aktif di twitter dengan identitas twitter: @ rajileonada.
***

Bulan Jatuh

Aku melihat bulan seiris jatuh
Tersangkut di ranting cemara
Pucat, malam tambah pekat
Siapa lagi yang berbuat ulah tanpa tenggang rasa
Sementara langit tak mencegah kepergiannya
Lebih baik kuambil saja penerang hidupku
Pengusir sepiku
Tapi si bulan enggan dibawa
Lebih senang bergelantungan
Menikmati lembutnya belaian angin dan cumbuan malam

5 Juli 2011

     Puisi yang berjudul Bulan Jatuh karya Fahruraji Asmuni ini tampil dengan tipografi bait tunggal yang terdiri dari 10 larik.
     Setelah kita baca hayati dan kita cermati, ternyata puisi ini begitu renyah untuk dinikmati, menarik untuk dianalisis dan dibicarakan. Karena puisi ini di samping dibangun dengan untaian kata-kata puitis juga dibangun dengan diksi, ritme, imaji dan majas yang juga tidak kalah menariknya. Termasuk juga tema, amanat dan pesan moral yang terkandung di dalamnya. Untuk ini  marilah kita telisik dan kita cermati dengan saksama.
     Puisi ini dibangun dengan diksi yang begitu puitis. Hal ini ditandai dengan ungkapan bulan jatuhyang dijadikan judul puisi ini. Di larik 1 ada ungkapan bulan seiris jatuh. Di larik 12 ada tersangkut di ranting cemara. Berikutnya ada pucat, malam tambah pekat di larik 3. Di larik 5 ada langit
tak  mencegah kepergiannya . Di larik 8 dan 9 ada  si bulan enggan di bawa, lebih senang bergelantungan. Dan terakhir di larik 10 ada lembutnya belayan angin dan cumbuan malam. Semua  untaian kata tsb. terasa begitu puitis.
     Puisi ini juga dibangun dengan imaji visual. Di larik 1 dan 2 kita seakan melihat bulan seiris atau yang biasa kita sebut bulan sabit itu seakan-akan tersangkut di ranting cemara. Selanjutnya di larik 3 kita seakan melihat bulan itu nampak pucat, sementara malam semakin pekat. Maksudnya malam semakin gelap. Di larik 5 kita seakan melihat bulan sabit yang mulai menghilang dari pandangan mata.
     Di sini juga ada imaji auditif, kita seakan mendengar ucapan seseorang yang ditandai dengan ungkapan di larik 1 aku melihat bulan seiris jatuh. Di larik 6 kita seakan mendengar seseorang mengucapkan Lebih baik kuambil saja penerang hiduku. Berikutnya di larik 10 ada imaji taktil kita seakan merasakan lembutnya belaian angin malam.
     Puisi ini juga dibangun dengan beberapa majas. Yaitu majas retoris, majas hiperboola, litotes, antropomorfisme, personifikasi dan majas paralellisme.
     Di larik 1 ada majas litotes menggunakan ungkapn yang mengecilkan arti. Hal ini ditandai dengan frasa bulan seiris.  Di larik 2 ada majas hiperbola ungkapan yang melebih-lebihkan. Hal ini ditandai dengan ungkapan [bulan] jatuh, tersangkut di nnranting cemara. Di larik 4 ada majas retoris yang menggunakan perrtanyaan. Hal ini ditandai dengan ungkapan Siapa lagi yang berbuat ulah tanpa tenggang rasa. Di larik 5 ada majas personifikasi yang ditandai dengan ungkapan langit tak mencegah kepergiannya. Di larik 8, 9 dan larik 10 juga ada majas personifikasi ini pada untaianTapi si bulan enggan dibawa, [tetapi] lebih senang bergelantungan, menikmati lembutnya belaian angin dan cumbuan malam.
     Di larik 10 ada majas atropomorfisme yang ditandai dengan ungkapan belaian angin dancumbuan malam  Di larik 4 dan 6 ada majas paralellisme yaitu majas yang mengunakan dua ungkapan atau kalimat  yang yang sejajar. Hal ini ditandai dengan Siapa lagi yang berbuat ulah tanpa tenggang rasaSementara langit tak [mau] mencegah kepergiannya. Demikian pula di larik  8 dan 9 yang ditandai dengan Tapi si bulan enggan dibawa dan Lebih senang bergelantungan.
     Puisi ini juga dibangun dan diperindah dengan rima asonansi yang terbentuk dari pengulangan bunyi vokal dalam baris larik yang sama. Dan rima aliterasi yang terbentuk dari pengulangan bunyi konsonan pada baris larik yang sama. Di larik 1 ada pengulagan bunyi vokal [u] pada kataaku, bulan dan kata jatuh. Di larik 2 ada pengulangan bunyi konsonan [r] pada kata tersangkut, ranting dan kata cemara. Di larik 3 ada pengulangan bunyi [am] pada kata malam dan katatambah. Selain itu dilarik 3 ini juga ada pengulangan bunyi konsonan [t] pada kata pucat, tambahdan kata pekat.  Di larik 4 juga ada pengulangan bunyi konsonan [t] pada kata berbuat, tanpa dan kata tenggang. Dan di larik 5 ada pengulangan bunyi konsonan [e] pada kata sementara, menmcegah dan kata kepergiannya. Di larik 6 ada penghhuolangan bunyi konsonan [b] pada katalebih,baik dan pada kata kuambil. Di larik 9 ada pengulangan bunyi vokal [e] pada kata lebih, senang dan juga pada kata bergelantungaan. Di larik 10 juga ada pengulangan bunyi vokal [e] pada kata menikmati, lembutnya dan kata belaian.
***
     Puisi Fahruraji Asmuni ini berjudul Bulan Jatuh. Secara denotatif frasa bulan jatuh maknanya adalah memang benar-benar bulan yang jatuh. Tetapi itu tidak mungkin. Berarti ini bukan arti yang sebenarnya. Barangkali maksudnya jatuh di sini adalah nampak pada pandangan mata bulan itu seperti jatuh. Puisi ini memang membicarakan keindahan bulan seiris yang nampak tersangkut di ranting cemara. Fenomena alam ini ternyata sangat menarik perhatian penyair. Dan langsung menginspirasi dan terciptalah puisi ini.
      Karena bulan nampak seperti tersangkut di ranting cemara. Padahal sebenarnya tidak, tetapi bulan  tetap berada di garis edarnya jauh di langit sana.
      Bulan jatuh di sini maksudnya hanyalah sebuah kiasan. Dan secara konotatif bulan jatuh bisa bermakna lain. Kata bulan sendiri mengingatkan kita pada ungkapan Bagaikan bulan purnama yang menyinari bumi; Bagaikan pungguk yang merindukan bulan; Bagaikan bulan berpagar bintang; Bagaikan bulan sembunyi di balik awan. Semua ungkapan itu mengarah pada satu arti yang sama, yaitu seseorang yang sangat diinginkan, didambakan dan sangat diidamkan. Yaitu gadis manis pujaan hati yang selalu dicinta dan dirindu.
      Selain itu kata bulan juga mengingatkan kita pada hal-hal yang lain. Yaitu tanggung bulan, bulan-bulanan, bulan sial, bulan madu, datang bulan, awal bulan, akhir bulan, bulan baru, bulan berjalan, bulan puasa dll.
     Pertanyaannya adalah bulan yang manakah sebenarnya yang dimaksud dengan frasa bulan jatuh dalam puisi ini? Yang jelas bulan yang ada di dalam puisi ini harus dimaknai secara konotatif. Makna konotatifnya adalah sesuatu yang diimpikan, sesuatu yang diidamnkan, bahkan sesuatu yang didambaklan. Dengan demikian bulan di sini bisa berarti seorang gadis impian yang cantik rupawan lagi memukau dan mempesona. Aku melihat bulan seiris jatuh [dan] tersangkut di ranting cemara. Secara denotatif  frasa bulan seiris itu maknanya memang benar-benar jatuh dan tersangkut di ranting cenara. Tetapi ini tidak mungkin. Mana ada bulan jatuh? Lebih-lebih lagi tersangkut di ranting cemara? Itu lebih tidak mungkin lagi. Mustahil! Tentu maksudnya adalah bulan seiris itu nampak seperti jatuh, dan bulan seiris itu terlindung oleh ranting-ranting cemara. Jadi kelihatannya nampak seperti tersangkut di ranting cemara.
     Secara konotatif frasa bulan seiris ini adalah ungkapan dari alis mata yang kecil berbentuk bulan seiris. Seperti dalam lirik lagu yang berjudul Ading Bastari karya Anang Ardiansyah yang berbunyi

Ading  sayang manang  dialis
Aduhai bulan sahiris.
Putih kuning ma-ambun pupur
 kada tatinggal gawi di dapur

     Tentu yang dimaksud bukan alis matanya tetapi adalah si gadis pemilik alis mata itu. Yang tersangkut di ranting cemara. Bisa jadi alis mata itu bagaikan bulan seiris yang tersangkut di ranting cemara. Frasa ranting cemara di sini maknanya barangkali helaian-helaian rambut yang terjuntai menutupi alis mata dan sebagian wajah sang gadis itu. Atau rambut-rambut itu sengaja dibuat terjuntai untuk menutupi wajah yang pucat bagaikan malam semakin gelap semakin pekat. Siapa lagi yang berbuat ulah ini tanpa tenggang rasa sehingga bulan ini jatuh. Kata jatuh di sini maksudnya adalah bulan itu terpaksa jatuh dan harus pergi dari tempatnya di langit malam itu. Sementara langit pun tak mencegah kepergiannya. Maka tinggalah si aku yang merasa sepi sendiri.   
     Di dalam puisi ini ungkapan bulan jatuh sifatnya adalah ambiguitas ganda yang memiliki banyak makna. Maknanya pun bisa melebar ke mana-mana. Tergantung dari arah mana pembaca memaknainya. Frasa bulan di sini bisa bermakna seorang gadis cantik jelita, atau bisa sesuatu apa saja.
     Jika kata bulan di sini maknanya adalah seorang dara berparas cantik jelita, maka di sini adabeberapa sosok yang harus kita cermati. Pertama adalah bulan itu sendiri, yang ke dua adalahlangit, dan yang ke tiga adalah aku lirik yaitu sosok aku yang dibicarakan dalam puisi ini, dan yang terakhir adalah belaian angin dan cumbuan malam. Ibarat sebah drama, maka beberapa sosokitulah yang jadi pelaku atau pemeran dalam puisi ini. Layaknya sebuah sandiwara maka di sini pun tentu ada peran protogonis dan peran antagonis, peran pembantu dan peran pelengkap plus peran piguran-piguran lainnya..
     Jika yang dimaksud bulan di sini Sosok bulan di sini mungkin saja seorang teman yang diam-diam dicintai, atau mungkin seorang kekasih, bahkan mungkin juga seorang istri. Yang jelas ia adalah seorang wanita berparas cantik jelita yang sangat disayang, diidamkan dan didambakan. Sedangkan yang dimaksud dengan langit di sini adalah sesuatu yang ada di atas. Kata langit menunjukkan posisi dan kedudukan yang lebih tinggi. Boleh jadi ia adalah seseorang yang punya wewenang dan otoritas terhadap dara itu sendiri.  Mungkin orang tuanya, mungkin atasannya, atau mungkin juga seseorang yang punya kemampuan memaksa dengan  ancaman  atau  dengan  harta.  Dan  yang  dimaksud  dengan aku lirik yaitu sosok aku yang dibicarakan dalam puisi ini, Sedangkan yang dimaksud dengan belaian angin dan cumbuan malam di sini adalah sesuatu atau seseorang yang mempengaruhi, membujuk, menggoda bahkan merayu sehingga sang idaman yang sangat di sayang itu pun tergoda terpikat, akibatnya ia pergi meninggalkan si aku dalam puisi ini. Dengan demikian maka pertanyaan retoris Siapa lagi yang berbuat ulah tanpa tenggang rasaitu kini sudah terjawab. Dalam keadaan sepi sendiri itu terpaksa si aku mengambil penerang hidup untuk mengusir sepi.Adapun yang dimaksud dengan penerang hidup di sini maksudnya adalah sesuatu yang bisa menenangkan kegalauan. Boleh jadi itu adalah buku-buku pencerah atau bisa juga kitab Surah Yaa Sin bahkan mungkin juga Kitab Alqur’anul Karim.     
      Ternyata puisi ini bisa juga dimaknai dengan hal yang lain. Bukankah sebuah puisi itu adalah ungkapan perasaan, pikiran, bahkan gagasan dari penulisnya? Yang di dalamnya terkandung amanat dan pesan moral yang ingin disampaikan kepada khalayak lewat pembaca. Amanat dan pesan moral itu  ada kalanya jelas tersurat  dan terbaca, terang  benderang bagaikan kaca bening  tembus sinar. Sehingga langsung bisa diterima pembaca. Tetapi ada kalanya juga pesan moral itu tak bisa langsung terbaca, karena pesan moral hanya tersirat bahkan  terselubung. Bagaikan gunung es yang tanpak hanyasebagian kecil saja. Sebagian terbesarnya justru tak terlihat karena berada di bawah permukaan. Padahal amanat dan pesan moral itu harus diungkap dan dikuak dengan sejelas-jelasnya. Dalam hal ini diperlukan penjelasan, pencerahan, bahkan pembedahan melalui pisau bedah analisis yang biasa disebut esai. Tidak menutup kemungkinan bahwa sebuah puisi itu memiliki makna ganda dan multitafsir melebihi dari apa yang ingin diungkapkan penulisnya. Misalnya seperti dalam puisi yang berjudul Bulan Jatuh karya Fahruraji Asmuni ini. Kata kuncinya adalah bulan.
      Bulan adalah benda langit yang memberikan sinarnya di malam hari. Bulan dianggap sebagaipenerang saat malam hari. Sedangkan malam melambangkan kegelapan. Dengan demikian bulan itu adalah penerang jalan di malam hari. Jadi frasa Bulan Jatuh di sini maknanya bisa berarti bahwa penerang atau pemberi cahaya atau bisa disebut Pencerah itu sudah jatuh. Sudah jatuh berarti sudah tak punya wewenang.
Lebih sedih lagi Sang Pencerah itu sudah tak punya kharisma lagi. Dengan demikian puisi ini tentu bisa juga dimaknai dari makna yang lain dari apa yang diungkapkan penyairnya.
      Hal ini bisa kita samakan dengan puisinya Chairil Anwar yang berjudul Aku. Pada awalnya puisi ini lahir karena ungkapan sikap Chiril Anwar terhadap sikap Ayahnya yang kawin lagi dan meninggalkan ibunya. Sosok Kau dalam puisi ini adalah ayahnya sendiri. Ternyata tiba-tiba saja puisi ini juga mampu menginspirasi perjuangan bangsa Indonesia mempertahan kemerdekaan yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945.
      Demikian juga dengan puisi ini. Walaupun pada awalnya hanya mengungkapkan keindahan fenomena alam. Dalam hal ini keindahan bulan seiris yang begitu memukau dan mempesona penulisnya. Sehingga mampu menginspirasinja  untuk menulis sebuah puisi.
      Berikutnya puisi ini bisa dinikmati dan dimaknai ke arah yang lebih luas lagi. Yaitu mengungkapkan kerinduan dan kegalauan seseorang yang ditinggal pergi kekasih hatinya, karena tergoda oleh belaian angin dan cumbuan malam. Dan berikutnya puisi ini juga bisa dimaknai dari sudut pandang yang lain. Misalnya, sebuah komunitas, sebuah organisasi, LSM, Ormas, Partai, sebuah perusahaan, atau bisa juga sebuah keluarga, sebuah lingkungan RT, RW, Kelurahan bahkan kabupaten/kota, yang ditinggal pergi seseorang yang sangat berarti.
     Adapun amanat dan pesan moral yang terdapat dalam puisi ini adalah, hendaknaya kita jangan putus asa. Lihat dan cermati ungkapan dalam larik 6 dan 7 di atas. Lebih baik kuambil saja penerang hidupku - Pengusir sepiku. Makna dari larik ini adalah, sebaiknya kita menenangkan hati, intropeksi dan menjernihkan pikiran melalui pemikirann keilahian, membaca kita-kitab religie, plus menpelajari dan mencari kemmungkinan-kemungkinan hal-hal yang bisa membangkitkan spirit baru. Barangkali inilah yang dapat kita petik dari puisi ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar