Fahrurraji Asmuni, Sastrawan Kalsel,Tinggal di Amuntai

Sabtu, 22 Desember 2012

BATUTUNGKAL

Sudah merupakan kepercayaan sebagai masyarakat Banjar apabila mereka terhindar musibah besar, maka mereka melakukan upacara Batutungkal atau selamatan. Batutungkal juga di lakukan apabila kendaraan mereka menabrak manusia atau binatang kucing hingga tewas. Menurut kepercayaan apabila tidak Batutungkal maka kendaraan yang naas itu akan mendapat bahaya di kemudian hari. Begitu pula bagi orang dapat membeli mobil baru atau barang mewah lainnya, mereka pun tak lupa untuk Batutungkal.
Adapun yang disebut Batutungkal itu ialah air yang sudah bercampur minyak wangi, minyak buburih dan kembang.
Sebelum upacara Batutungkal di tutup dengan do’a air Tutungkal itu dicecerkan kebadan mobil yang naas dan kendaraan yang baru dibeli sambil membaca shalawat.
Upacara adat Batutungkal tidak begitu besar biayanya, cukup dihidangkan kue serba sedikit kemudian dibacakan do’a selamat.

MENGENAL SASTRAWAN KALIMANTAN SELATAN
FAHRURAJI ASMUNI LEWAT PUISI 'BULAN JATUH'
oleh Hamberan Syahbana pada 28 Juli 2012 pukul 9:50 ·

FAHRURAJI ASMUNI

     Fahruraji Asmuni lahir pada tanggal 13 Agustus 1960 di Alabio Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan. Setelah lulus SMA Amuntai, ia melanjutkan ke DII Bahasa Indonesia FKIP Unlam (1986), DIII Bahasa Indonesia-UT (1999). Selanjutnya menyelesaikan S.1 pada Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia-Daerah (PBSID) FKIP Unlam (2003) dan S-2 Manajemen Pendidikan, STIE Pancasetia (2011)
     Sastrawan Kalsel yang satu ini termasuk sosok yang super sibuk. Di samping sebagai guru di SMAN 1 Amuntai itu ia juga Juga menjadi tutor UPBJJ- Banjarmasin-UT-Pokjar Danau Panggang, Disdikbud HSU, dan sebelumnya ia juga menjadi tutor pada penyataraan S-1 Guru SD UT-Pokjar Lampihong, Kabupaten Balangan.
     Di dunia seni ia juga sibuk sebsgai pegiat dan aktivis seni dan sastra melalui Dewan Kesenian HSU dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Hulu Sungai Utara. Hal ini ditandai dengan berbagai kegiatan seni dan sastra yang dilakukannya baik tingkat lokal maupun tingkat nasional.
      Di sela-sela kesibukannya itu ia juga rajin menulis puisi, cerpen dan esai dll. dalam dunia tulis-menulis ia sering menggunakan nama pena Raji Abkar, Fahrurraji As al-Al Alaby, Frasnaya,dan Fitra Karunia
     Fahruraji Asmuni mulai terjun di dunia tulis-menulis sejak tahun 1982. Karya-karyanya berupa esai, puisi, dan cerpen pernah dimuat di berbagai media seperti Banjarmasin Post, Serambi Ummah, Majalah Kiblat-Jakarta, Sahabat Pena, Suara Aisyiyah-Yogyakarta, Radar Banjar, danBuletin Cangkal.

     Puisi-puisinya terhimpun dalam antologi Darah Impian (1982); Elite Penyair Kalsel 1979-1985(1988), Bintang-Bintang Kasuma I Antologi 11 penyair Hulu Sungai Utara, (1984); Seribu Sungai Paris Berantai Antologi penyair Kalsel (2006), Ronce Bunga Mekar Antologi penyair Banua Enam (2007); Mahligai Junjung Buih Antologi puisi dan cerpen Sastrawan Hulu Sungai Utara, 2007);Tarian Cahaya di Bumi Sanggam Antologi puisi Penyair Kalsel (2008); Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi puisi ASKS VI Marabahan (2009); Menyampir Benua, Antologi puisi ASKS VII Tabalong,2010); Seloka Bisu Batu Benawa, Antologi puisi ASKS VIII Barabai (2011); Gagasan Besar Aruh Sastra Kalimantan Selatan, Himpunan tulisan, ed. ASA, (2011)
      Kumpulan cerpen dan cerita yang telah dirilisnya adalah Kuning Padiku, Hijau Hidupku (1984),Sang Guru (1990), Pengabdian (1995), Dialog Iblis dengan Para Shalihin (2000), Datu-Datu Terkenal Kalsel (2001), Kena Tipu (2005); Mengenal Sastra Lisan Banjar Hulu (untuk Muatan Lokal tingkat SLTP) terbit 2001, Sastra Lisan Banjar Hulu (yang sudah punah dan masih hidup) terbit 2009, Antologi cerpen siswa SMA ” Diteror 100 Jam” , editor (Juni,2010), Tutur Candi (September, 2010) dan Kumpulan Kisah Bahasa Banjar (Desember, 2010), Ketika Api Bicara,kumpulan cerpen bersama guru dan alumni SMAN 1 Amuntai (2011), Putri Junjung Buih, cerita daerah Banjar,antologi bersama penulis Amuntai (2012).
      Kini ia tinggal dan berdomisili di Alamat : Jalan Negara Dipa, Komplek 10 RT.8 No. 066 Kelurahan Sungai Malang, Amuntai.
       Selain itu ia juga aktif  menulis di http: /wwwkaryaraji. Blogspot.http://wwwkaryaraji.blogspot.com/, dan di http // www. fahrurraji. wordpress. com. Juga di jejaring sosial facebook: faraji413@gmail.com. Juga aktif di twitter dengan identitas twitter: @ rajileonada.
***

Bulan Jatuh

Aku melihat bulan seiris jatuh
Tersangkut di ranting cemara
Pucat, malam tambah pekat
Siapa lagi yang berbuat ulah tanpa tenggang rasa
Sementara langit tak mencegah kepergiannya
Lebih baik kuambil saja penerang hidupku
Pengusir sepiku
Tapi si bulan enggan dibawa
Lebih senang bergelantungan
Menikmati lembutnya belaian angin dan cumbuan malam

5 Juli 2011

     Puisi yang berjudul Bulan Jatuh karya Fahruraji Asmuni ini tampil dengan tipografi bait tunggal yang terdiri dari 10 larik.
     Setelah kita baca hayati dan kita cermati, ternyata puisi ini begitu renyah untuk dinikmati, menarik untuk dianalisis dan dibicarakan. Karena puisi ini di samping dibangun dengan untaian kata-kata puitis juga dibangun dengan diksi, ritme, imaji dan majas yang juga tidak kalah menariknya. Termasuk juga tema, amanat dan pesan moral yang terkandung di dalamnya. Untuk ini  marilah kita telisik dan kita cermati dengan saksama.
     Puisi ini dibangun dengan diksi yang begitu puitis. Hal ini ditandai dengan ungkapan bulan jatuhyang dijadikan judul puisi ini. Di larik 1 ada ungkapan bulan seiris jatuh. Di larik 12 ada tersangkut di ranting cemara. Berikutnya ada pucat, malam tambah pekat di larik 3. Di larik 5 ada langit
tak  mencegah kepergiannya . Di larik 8 dan 9 ada  si bulan enggan di bawa, lebih senang bergelantungan. Dan terakhir di larik 10 ada lembutnya belayan angin dan cumbuan malam. Semua  untaian kata tsb. terasa begitu puitis.
     Puisi ini juga dibangun dengan imaji visual. Di larik 1 dan 2 kita seakan melihat bulan seiris atau yang biasa kita sebut bulan sabit itu seakan-akan tersangkut di ranting cemara. Selanjutnya di larik 3 kita seakan melihat bulan itu nampak pucat, sementara malam semakin pekat. Maksudnya malam semakin gelap. Di larik 5 kita seakan melihat bulan sabit yang mulai menghilang dari pandangan mata.
     Di sini juga ada imaji auditif, kita seakan mendengar ucapan seseorang yang ditandai dengan ungkapan di larik 1 aku melihat bulan seiris jatuh. Di larik 6 kita seakan mendengar seseorang mengucapkan Lebih baik kuambil saja penerang hiduku. Berikutnya di larik 10 ada imaji taktil kita seakan merasakan lembutnya belaian angin malam.
     Puisi ini juga dibangun dengan beberapa majas. Yaitu majas retoris, majas hiperboola, litotes, antropomorfisme, personifikasi dan majas paralellisme.
     Di larik 1 ada majas litotes menggunakan ungkapn yang mengecilkan arti. Hal ini ditandai dengan frasa bulan seiris.  Di larik 2 ada majas hiperbola ungkapan yang melebih-lebihkan. Hal ini ditandai dengan ungkapan [bulan] jatuh, tersangkut di nnranting cemara. Di larik 4 ada majas retoris yang menggunakan perrtanyaan. Hal ini ditandai dengan ungkapan Siapa lagi yang berbuat ulah tanpa tenggang rasa. Di larik 5 ada majas personifikasi yang ditandai dengan ungkapan langit tak mencegah kepergiannya. Di larik 8, 9 dan larik 10 juga ada majas personifikasi ini pada untaianTapi si bulan enggan dibawa, [tetapi] lebih senang bergelantungan, menikmati lembutnya belaian angin dan cumbuan malam.
     Di larik 10 ada majas atropomorfisme yang ditandai dengan ungkapan belaian angin dancumbuan malam  Di larik 4 dan 6 ada majas paralellisme yaitu majas yang mengunakan dua ungkapan atau kalimat  yang yang sejajar. Hal ini ditandai dengan Siapa lagi yang berbuat ulah tanpa tenggang rasaSementara langit tak [mau] mencegah kepergiannya. Demikian pula di larik  8 dan 9 yang ditandai dengan Tapi si bulan enggan dibawa dan Lebih senang bergelantungan.
     Puisi ini juga dibangun dan diperindah dengan rima asonansi yang terbentuk dari pengulangan bunyi vokal dalam baris larik yang sama. Dan rima aliterasi yang terbentuk dari pengulangan bunyi konsonan pada baris larik yang sama. Di larik 1 ada pengulagan bunyi vokal [u] pada kataaku, bulan dan kata jatuh. Di larik 2 ada pengulangan bunyi konsonan [r] pada kata tersangkut, ranting dan kata cemara. Di larik 3 ada pengulangan bunyi [am] pada kata malam dan katatambah. Selain itu dilarik 3 ini juga ada pengulangan bunyi konsonan [t] pada kata pucat, tambahdan kata pekat.  Di larik 4 juga ada pengulangan bunyi konsonan [t] pada kata berbuat, tanpa dan kata tenggang. Dan di larik 5 ada pengulangan bunyi konsonan [e] pada kata sementara, menmcegah dan kata kepergiannya. Di larik 6 ada penghhuolangan bunyi konsonan [b] pada katalebih,baik dan pada kata kuambil. Di larik 9 ada pengulangan bunyi vokal [e] pada kata lebih, senang dan juga pada kata bergelantungaan. Di larik 10 juga ada pengulangan bunyi vokal [e] pada kata menikmati, lembutnya dan kata belaian.
***
     Puisi Fahruraji Asmuni ini berjudul Bulan Jatuh. Secara denotatif frasa bulan jatuh maknanya adalah memang benar-benar bulan yang jatuh. Tetapi itu tidak mungkin. Berarti ini bukan arti yang sebenarnya. Barangkali maksudnya jatuh di sini adalah nampak pada pandangan mata bulan itu seperti jatuh. Puisi ini memang membicarakan keindahan bulan seiris yang nampak tersangkut di ranting cemara. Fenomena alam ini ternyata sangat menarik perhatian penyair. Dan langsung menginspirasi dan terciptalah puisi ini.
      Karena bulan nampak seperti tersangkut di ranting cemara. Padahal sebenarnya tidak, tetapi bulan  tetap berada di garis edarnya jauh di langit sana.
      Bulan jatuh di sini maksudnya hanyalah sebuah kiasan. Dan secara konotatif bulan jatuh bisa bermakna lain. Kata bulan sendiri mengingatkan kita pada ungkapan Bagaikan bulan purnama yang menyinari bumi; Bagaikan pungguk yang merindukan bulan; Bagaikan bulan berpagar bintang; Bagaikan bulan sembunyi di balik awan. Semua ungkapan itu mengarah pada satu arti yang sama, yaitu seseorang yang sangat diinginkan, didambakan dan sangat diidamkan. Yaitu gadis manis pujaan hati yang selalu dicinta dan dirindu.
      Selain itu kata bulan juga mengingatkan kita pada hal-hal yang lain. Yaitu tanggung bulan, bulan-bulanan, bulan sial, bulan madu, datang bulan, awal bulan, akhir bulan, bulan baru, bulan berjalan, bulan puasa dll.
     Pertanyaannya adalah bulan yang manakah sebenarnya yang dimaksud dengan frasa bulan jatuh dalam puisi ini? Yang jelas bulan yang ada di dalam puisi ini harus dimaknai secara konotatif. Makna konotatifnya adalah sesuatu yang diimpikan, sesuatu yang diidamnkan, bahkan sesuatu yang didambaklan. Dengan demikian bulan di sini bisa berarti seorang gadis impian yang cantik rupawan lagi memukau dan mempesona. Aku melihat bulan seiris jatuh [dan] tersangkut di ranting cemara. Secara denotatif  frasa bulan seiris itu maknanya memang benar-benar jatuh dan tersangkut di ranting cenara. Tetapi ini tidak mungkin. Mana ada bulan jatuh? Lebih-lebih lagi tersangkut di ranting cemara? Itu lebih tidak mungkin lagi. Mustahil! Tentu maksudnya adalah bulan seiris itu nampak seperti jatuh, dan bulan seiris itu terlindung oleh ranting-ranting cemara. Jadi kelihatannya nampak seperti tersangkut di ranting cemara.
     Secara konotatif frasa bulan seiris ini adalah ungkapan dari alis mata yang kecil berbentuk bulan seiris. Seperti dalam lirik lagu yang berjudul Ading Bastari karya Anang Ardiansyah yang berbunyi

Ading  sayang manang  dialis
Aduhai bulan sahiris.
Putih kuning ma-ambun pupur
 kada tatinggal gawi di dapur

     Tentu yang dimaksud bukan alis matanya tetapi adalah si gadis pemilik alis mata itu. Yang tersangkut di ranting cemara. Bisa jadi alis mata itu bagaikan bulan seiris yang tersangkut di ranting cemara. Frasa ranting cemara di sini maknanya barangkali helaian-helaian rambut yang terjuntai menutupi alis mata dan sebagian wajah sang gadis itu. Atau rambut-rambut itu sengaja dibuat terjuntai untuk menutupi wajah yang pucat bagaikan malam semakin gelap semakin pekat. Siapa lagi yang berbuat ulah ini tanpa tenggang rasa sehingga bulan ini jatuh. Kata jatuh di sini maksudnya adalah bulan itu terpaksa jatuh dan harus pergi dari tempatnya di langit malam itu. Sementara langit pun tak mencegah kepergiannya. Maka tinggalah si aku yang merasa sepi sendiri.   
     Di dalam puisi ini ungkapan bulan jatuh sifatnya adalah ambiguitas ganda yang memiliki banyak makna. Maknanya pun bisa melebar ke mana-mana. Tergantung dari arah mana pembaca memaknainya. Frasa bulan di sini bisa bermakna seorang gadis cantik jelita, atau bisa sesuatu apa saja.
     Jika kata bulan di sini maknanya adalah seorang dara berparas cantik jelita, maka di sini adabeberapa sosok yang harus kita cermati. Pertama adalah bulan itu sendiri, yang ke dua adalahlangit, dan yang ke tiga adalah aku lirik yaitu sosok aku yang dibicarakan dalam puisi ini, dan yang terakhir adalah belaian angin dan cumbuan malam. Ibarat sebah drama, maka beberapa sosokitulah yang jadi pelaku atau pemeran dalam puisi ini. Layaknya sebuah sandiwara maka di sini pun tentu ada peran protogonis dan peran antagonis, peran pembantu dan peran pelengkap plus peran piguran-piguran lainnya..
     Jika yang dimaksud bulan di sini Sosok bulan di sini mungkin saja seorang teman yang diam-diam dicintai, atau mungkin seorang kekasih, bahkan mungkin juga seorang istri. Yang jelas ia adalah seorang wanita berparas cantik jelita yang sangat disayang, diidamkan dan didambakan. Sedangkan yang dimaksud dengan langit di sini adalah sesuatu yang ada di atas. Kata langit menunjukkan posisi dan kedudukan yang lebih tinggi. Boleh jadi ia adalah seseorang yang punya wewenang dan otoritas terhadap dara itu sendiri.  Mungkin orang tuanya, mungkin atasannya, atau mungkin juga seseorang yang punya kemampuan memaksa dengan  ancaman  atau  dengan  harta.  Dan  yang  dimaksud  dengan aku lirik yaitu sosok aku yang dibicarakan dalam puisi ini, Sedangkan yang dimaksud dengan belaian angin dan cumbuan malam di sini adalah sesuatu atau seseorang yang mempengaruhi, membujuk, menggoda bahkan merayu sehingga sang idaman yang sangat di sayang itu pun tergoda terpikat, akibatnya ia pergi meninggalkan si aku dalam puisi ini. Dengan demikian maka pertanyaan retoris Siapa lagi yang berbuat ulah tanpa tenggang rasaitu kini sudah terjawab. Dalam keadaan sepi sendiri itu terpaksa si aku mengambil penerang hidup untuk mengusir sepi.Adapun yang dimaksud dengan penerang hidup di sini maksudnya adalah sesuatu yang bisa menenangkan kegalauan. Boleh jadi itu adalah buku-buku pencerah atau bisa juga kitab Surah Yaa Sin bahkan mungkin juga Kitab Alqur’anul Karim.     
      Ternyata puisi ini bisa juga dimaknai dengan hal yang lain. Bukankah sebuah puisi itu adalah ungkapan perasaan, pikiran, bahkan gagasan dari penulisnya? Yang di dalamnya terkandung amanat dan pesan moral yang ingin disampaikan kepada khalayak lewat pembaca. Amanat dan pesan moral itu  ada kalanya jelas tersurat  dan terbaca, terang  benderang bagaikan kaca bening  tembus sinar. Sehingga langsung bisa diterima pembaca. Tetapi ada kalanya juga pesan moral itu tak bisa langsung terbaca, karena pesan moral hanya tersirat bahkan  terselubung. Bagaikan gunung es yang tanpak hanyasebagian kecil saja. Sebagian terbesarnya justru tak terlihat karena berada di bawah permukaan. Padahal amanat dan pesan moral itu harus diungkap dan dikuak dengan sejelas-jelasnya. Dalam hal ini diperlukan penjelasan, pencerahan, bahkan pembedahan melalui pisau bedah analisis yang biasa disebut esai. Tidak menutup kemungkinan bahwa sebuah puisi itu memiliki makna ganda dan multitafsir melebihi dari apa yang ingin diungkapkan penulisnya. Misalnya seperti dalam puisi yang berjudul Bulan Jatuh karya Fahruraji Asmuni ini. Kata kuncinya adalah bulan.
      Bulan adalah benda langit yang memberikan sinarnya di malam hari. Bulan dianggap sebagaipenerang saat malam hari. Sedangkan malam melambangkan kegelapan. Dengan demikian bulan itu adalah penerang jalan di malam hari. Jadi frasa Bulan Jatuh di sini maknanya bisa berarti bahwa penerang atau pemberi cahaya atau bisa disebut Pencerah itu sudah jatuh. Sudah jatuh berarti sudah tak punya wewenang.
Lebih sedih lagi Sang Pencerah itu sudah tak punya kharisma lagi. Dengan demikian puisi ini tentu bisa juga dimaknai dari makna yang lain dari apa yang diungkapkan penyairnya.
      Hal ini bisa kita samakan dengan puisinya Chairil Anwar yang berjudul Aku. Pada awalnya puisi ini lahir karena ungkapan sikap Chiril Anwar terhadap sikap Ayahnya yang kawin lagi dan meninggalkan ibunya. Sosok Kau dalam puisi ini adalah ayahnya sendiri. Ternyata tiba-tiba saja puisi ini juga mampu menginspirasi perjuangan bangsa Indonesia mempertahan kemerdekaan yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945.
      Demikian juga dengan puisi ini. Walaupun pada awalnya hanya mengungkapkan keindahan fenomena alam. Dalam hal ini keindahan bulan seiris yang begitu memukau dan mempesona penulisnya. Sehingga mampu menginspirasinja  untuk menulis sebuah puisi.
      Berikutnya puisi ini bisa dinikmati dan dimaknai ke arah yang lebih luas lagi. Yaitu mengungkapkan kerinduan dan kegalauan seseorang yang ditinggal pergi kekasih hatinya, karena tergoda oleh belaian angin dan cumbuan malam. Dan berikutnya puisi ini juga bisa dimaknai dari sudut pandang yang lain. Misalnya, sebuah komunitas, sebuah organisasi, LSM, Ormas, Partai, sebuah perusahaan, atau bisa juga sebuah keluarga, sebuah lingkungan RT, RW, Kelurahan bahkan kabupaten/kota, yang ditinggal pergi seseorang yang sangat berarti.
     Adapun amanat dan pesan moral yang terdapat dalam puisi ini adalah, hendaknaya kita jangan putus asa. Lihat dan cermati ungkapan dalam larik 6 dan 7 di atas. Lebih baik kuambil saja penerang hidupku - Pengusir sepiku. Makna dari larik ini adalah, sebaiknya kita menenangkan hati, intropeksi dan menjernihkan pikiran melalui pemikirann keilahian, membaca kita-kitab religie, plus menpelajari dan mencari kemmungkinan-kemungkinan hal-hal yang bisa membangkitkan spirit baru. Barangkali inilah yang dapat kita petik dari puisi ini

Selasa, 04 Desember 2012

ASAL PUTRI JUNJUNG BUIH Konon menurut cerita, di lembah Batu Piring hiduplah seorang petani janda yang bernama Ning Bangkiling. Bermula ia hanya hidup sendiri tanpa anak, namun beberapa saat kemudian ia mendapat seorang anak angkat perempuan yang diberi nama Galuh Cipta Sari. Bagi orang lain tinggal di tempat yang sepi mungkin merupakan siksaan. Tetapi bagi Ning Bangkiling tidak. Bahkan merupakan suatu hal yang menyenangkan. Sebab baginya di tempat yang sepi mebuat ia lebih syahdu dan tenang untuk beribadat. Keadaan alam yang indah dan udara yang segar membuat jiwanya nyaman dan tenteram. Pada suatu malam Ning Bangkiling bermimpi melihat galuh cipta sari duduk di singgasana dengan berpakaian kebesaran kerajaan. Di depannya nampak seorang lelaki yang tampan dan penuh wibawa merunduk dan menghormat. Oleh Ning Bangkiling mimpi itu diberitahukan kepada anak angkatnya. Baik ia maupun putrinya merenung. Mereka sama-sama mencoba mentakbirkan apa gerangan maksud mimpi tersebut. Setelah merenung sang anak berdiri menghampiri ibunya. “Apa yang sedang bunda lamunkan?” Tanya Galuh sambil menggendung ember berisi pakaian kotor yang hendak dicuci. “Tidak apa-apa,” ucap sang ibu seraya tersenyum. Lalu meletakkan ember, memeluk dan mencium ibunya. “ kau nampaknya mau pergi ke sungai?” Tanya ibunya. “Betul,” jawab Galuh sambil mangangguk, lalu bejalan ke sungai. Saat galuh mencuci pakaian. Tiba-tiba selembar kain cucian terjatuh ke sungai. Ia mencoba mengambil kain tersebut dengan cara melompat. Namun kakinya tergelincirlantaran terinjak batu besar yang licin berlumut. Galuh terpental ke arus sungai yang deras. Sementara itu, hati Ning Bangkiling gelisah karena anaknya lama tidak kembali dari sungai, padahal bisaanya ia tidak lama mencuci kemudian kembali ke rumah dan menjemur cucian tersebut. Ia khawatir kalau ada sesuatu yang menimpa anaknya di sungai. Sehingga Ning Bangkiling menyusul anaknya ke tepi sungai. Ia tidak menemukan anaknya, tetapi hanya setumpuk pakaian yang belum di cuci. Hati Ning Bangkiling merasa gundah. Dengan air mata yang berlinang Ning bangkiling menadahkan tangan ke langit memohon agar putrinya mendapat keselamatan dan dapat berkumpul kembali seperti semula. *** Tersebutlah cerita, ketika Lambung Mangkurat sedang bersemedi pada sebuah rakit untuk mencari raja yang akan memerintah di kerajaan Negara Dipa. Tiba-tiba terdengar seorang wanita di tengah sungai tepatnya di gumpalan buih. “Wahai Lambung Mangkurat! Apa yang kau cari di tempat ini?” Tanya putrid tersebut. “Aku mau mencari seorang raja yang akan memeritah Negara Dipa,” jawab Lambung Mangkurat setengah kaget. “Akulah raja yang akan memerintah di sini, tetapi penuhilah permintaanku lebih dahulu,” kata putri. “Apa syarat yang tuan putrid inginkan?” Tanya Lambung Mangkurat. “Buatlah mahligai yang tingginya setinggi rumpun bambu,” kata putri. “Permintaan Tuan putrid akan segera kami kabulkan,” sahut Lambung Mangkurat tanpa ragu-ragu. Lambung Mangkurat memanggil beberapa orang abdi Negara yang kuat dan sakti, diantaranya Pembalah Batung untuk mengambil sejumlah haur (bamboo) di suatu tempat yang cukup jauh, yaitu Mungkur Haur. Pekerjaan itu sebenarnya sangat berat dan berbahaya. Namun,tetap ia usahakan sebagai bukti pengabdiannya kepada kerajaan. Rombongan pun berangkat menuju Mungkur Haur yang dipimpin oleh Pembalah Batung. Ketika tiba di tempat dan bersiap-siap untuk mencabut serumpun bambu, tiba-tiba terdengar gemuruh membahana dari balik rumpun bambu, kemudian muncullah seekor raksasa dengan tubuh yang besar dan tinggi, berwajah seram dan berkuku tajam. “Hai, anak manusia hentikan pekerjaanmu. Jangan sekali-kali kamu mengambil sebatang bambu pun di sini tanpa seizinku sebab ini adalah daerah kekuasaanku,” kata sang raksasa dengan suara menggelegar. “ Pergilah dari sini! Jika kalian tidak pergi aku cabik-cabik badan kalian,” ucapnya lagi. “Hai raksasa, aku tidak takut dengan gertakanmu. Apapun yang terjadi tetap kami ambil beberapa batang bambu dari sini,” ucap Pembalah Batung yang sakti dengan suara yang lantang tanpa gentar sedikitpun. Mendengar jawaban seperti itu kemarahan raksasa semakin meningkat. Dan perkelahian pun tidak terhindarkan. Raksasa mengerahkan seluruh tenaganya uanutk mencabik-cabik badan Pembalah Batung. Namun Pembalah Batung yang sakti dapat menghindardan balik menyerang dengan tenaga dalam dan kesaktiannya yang luar bisaa. Setelah berjam-jam perseturuan itu berlangsung, maka raksasa tersebut teryata tidak mampu merobohkan Pembalah Batung, malah sang raksasa jatuh terguling dan menemui ajalnya. Selanjutnya serumpun bambu diambil oleh Pembalah Batung beserta kawan-kawan pulang untuk dipersembahkan kepada Lambung Mangkurat guna membuat mahligai putrid Junjung Buih yang dahulunya bernama Galuh Cipta Sari. Diposkan oleh Fahrurraji Asmuni/Raji Leonada di 18:31 Tidak ada komentar: Link ke posting ini Reaksi:
ASAL MUASAL TAHLILAN DALAM ISLAM (dari berbagai sumber) Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya. (Berita SuaraMedia) Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Quran, dzikir-dzikir, dan disertai doa-doa tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah "Tahlilan". Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan "lebih dari sekedarnya" cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya. Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: "wajib") untuk dikerjakan dan sebaliknya, bidah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan. Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Quran dan As Sunnah. Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wataala telah berfirman (artinya): "Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya." (An Nisaa: 59) Historis Upacara Tahlilan Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam, di masa para sahabatnya dan para Tabiin maupun Tabiut tabiin. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafii, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan? Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendoakan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan doa-doa ala agama lain dengan bacaan dari Al Quran, maupun dzikir-dzikir dan doa-doa ala Islam menurut mereka. Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain. Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu: Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Quran, dzikir-dzikir dan disertai dengan doa-doa tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit. Kedua: Penyajian hidangan makanan. Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam. Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Quran, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah. 1. Bacaan Al Quran, dzikir-dzikir, dan doa-doa yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit. Memang benar Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Quran, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Quran, dzikir-dzikir, dan doa-doa diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarkan. Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wataala berfirman (artinya): "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian." (Al Maidah: 3) Juga Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam bersabda: مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ "Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya." (H.R Ath Thabrani) Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam. Suatu ketika Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: "Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam", yang kedua menyatakan: "Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka", yang terakhir menyatakan: "Saya tidak akan menikah", maka Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: "Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku." (Muttafaqun alaihi) Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wataala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam. Allah subhanahu wataala menyatakan dalam Al Quran (artinya): "Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya." (Al Mulk: 2) Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna "yang paling baik amalnya" ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam. Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam. Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wataala (artinya): "Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya". (Al Kahfi: 103-104) Lebih ditegaskan lagi dalam hadits Aisyah radhiAllahu anha, Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam bersabda: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ "Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak." (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim) Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi: فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ "Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya." Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy SyafiI: مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ "Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara (syariat) sendiri". Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafii tentang hukum bacaan Al Quran yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Quran tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wataala (artinya): "Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya". (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329). 2. Penyajian hidangan makanan. Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiAllahu anhum. Jarir bin Abdillah radhiAllahu anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam– berkata: "Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)." (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya) Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafii dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafii, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafii. Al Imam Asy Syafii rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu Al Um (1/248): "Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka." (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211) Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafii setelah menyebutkan perkataan Asy Syafii diatas didalam kitabnya Majmu Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: "Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bidah –pent). Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafii? Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam dalam hadistnya: اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ "Hidangkanlah makanan buat keluarga Jafar, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka." (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya) Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu alam. (Dikutip dari: assalafy):www.suaramedia.com ------------------------------------------------------

Minggu, 25 November 2012

Menjangan besar, bekantan, Burung baruh, Buaya Kuning. Siapa yang pernah melihat rusa sebesar sapi dengan kijangnya yang besar menjulang?..semua pasti pernah melihat di televisi, tapi kalau melihat lansung dengan mata sendiri, mungkin hanya beberapa orang saja. Tapi kan kijang biasanya ada di hutan, di gunung, amuntai ini tidak punya hutan atau gunung, hanya ada rawa-rawa bukan?.. ehh tunggu dulu, jangan salah ya..meski pun wilayah amuntai ini wilayah rawa-rawa tapi bukan berarti tidak punya hutan, amuntai tentu saja punya hutan, hutan rawa namanya..berada dipedalaman rawa-rawa itu, dan pohon-pohonnya dulu besar-besar dan lebat, besar seperti drum dan lebat hingga matahari tidak tembus ke bawah, dan jika musim banjir pun akan terkena banjir, unik bukan?..jelas lah hutan ini sangat unik. yusranefendiritonga.blogspot.com Kita bisa menemui hutan ini diperbatasan amuntai dan barabai, sayangnya hutan ini sebentar lagi akan dihapus dari peredaran selamanya karena akan di jadikan perkebunan kelapa sawit. Bagaimana dengan masyarakat amuntai, mungkin tidak banyak orang yang tahu bahwa di wilayah amuntai ini , dihutan-hutan mereka ada binatang-binatang langka yang unik. Jika kita memasuki wilayah hutan pinang kara atau pinang habang, di kecamatan Alabio, maka kita akan menemukan hutan tersebut. Dihutan-hutan tersebut kita bisa menemukan menjangan-menjangan besar sebesar sapi yang liar hidup di hutan-hutan rawa, ada juga bekantan yang berhidung mancung, jika beruntung kita juga akan menemukan burung baruh yang tingginya hampir satu meter, kita juga bisa menemukan buaya kuning di danau caramin ditengah-tengah hutan tersebut dan juga ular-ular besar dan panjang. Babi hutan adalah momok tersendiri diwilayah ini yang populasinya sangat banyak. Jika wilayah ini di konservasi, maka tentu saja kita akan mendapatkan tempat wisata yang unik, bagi masyarakat amuntai dan barabai sendiri mereka tidak perlu harus ke pulau jawa untuk berwisata melihat binatang-binatang unik di kebun-kebun binatang, bagi pemerintah daerah sendiri sebenarnya bisa menjadi objek pariwisata yang prestesius karena berbentuk konsevasi unik di wilayah hutan rawa. Wilayah ini telah terkena wilayah perkebunan sawit, para bos sawit tersebut mempunyai uang yang banyak sehingga mereka akan mudah membawa anak-anak mereka melihat rusa atau binatang langka di pulau jawa atau luar negeri, tapi bagaimana dengan anak-anak masyarakat amuntai dan barabai?..pernahkan mereka melihat menjangan?..pernahkan para orang tua mereka membawa mengajak mereka wisata melihat binatang langka?…tentu saja tidak pernah. Jika wilayah hutan rawa ini tidak diselematkan, maka amuntai akan sangat rugi seumur hidup mereka. Selain itu di wilayah hutan rawa di haur gading juga pernah dilaporkan adanya urang hutan dam kijang besar, jika benar urang hutan tersebut ada, maka amuntai adalah satu-satunya wilayah di kalimantan selatan yang mempunyai urang utan, selama ini kalimantan selatan memang dianggap tidak pernah mempunyai wilayah alami urang hutan.